SEKILAS INFO
  • 2 tahun yang lalu / Penerimaan Peserta Didik Baru
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan
WAKTU :

Rangkuman Pengaosan Kitab Bulughul Maram BAB 3: Menghilangkan Najis dan Penjelasannya

Terbit 12 September 2021 | Oleh : Team Mdc | Kategori : Hadist
Rangkuman Pengaosan Kitab Bulughul Maram BAB 3: Menghilangkan Najis dan Penjelasannya

Rangkuman Pengaosan Kitab Bulughul Maram Karangan Ibnu Hajar Al-Asqolani oleh DR. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA.

Ahad, 12 Sepetember 2021

BAB 3: Menghilangkan Najis dan Penjelasannya

22. Hadist dari Anas bin Malik RA. Beliau menyatakan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang tentang khamr. Bagaimana hukumnya khamr yang dijadikan cuka? Rasulullah SAW menjawab “Jangan!”

Penjelasan dari hadist ini yakni, apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, hukumnya suci dan halal dikonsumsi. Akan tetapi, apabila perubahan khamr menjadi cuka tersebut melalui proses dan campur tangan manusia, misalkan menggunakan suatu bahan kimia, maka hukumnya menjadi tidak boleh.

Dalam hadist tersebut menggunakan kata تُتَّخَذ yang mana memiliki arti perubahan khamr tersebut melalui proses yang disengaja. Bukan melalui proses alamiyah.
Hadist ini dikeluarkan oleh Imam Muslim, dan Imam Tirmidzi yang mengatakan bahwa hadist ini hasan dan shohih.

23. Hadist ini juga dari Anas bin Malik RA. Beliau mengatakan bahwa dalam perang khaibar, Rasulullah memerintahkan Abi Tholhah untuk mengumumkan,
“إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ اَلْحُمُرِاَلْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ”

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian sekalian memakan daging keledai kampung rumah karena ia kotor.”

Khimar yang dimaksud adalah khimar ahli atau keledai rumahan yang kotor dan menjijikkan. Berbeda dengan khimar wahsyi atau keledai padang pasir yang bersih disebut keledai atau zebra adalah halal untuk dikonsumsi. Hadist ini disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

24. Hadist dari ‘Amr bin Kharijah RA. Beliau menceritakan ketika Rasulullah SAW khutbah menjelaskan pada para sahabat yang sedang berada di Mina yang sedang melaksanakan ibadah haji. Dalam khutbahnya, beliau menjelaskan bahwa air liur khimar yang sedang ditunggangi oleh Rasulullah SAW, jatuh ke tubuh ‘Amr yang menarik khimar Rasulullah SAW pada bagian tulang belikat ‘Amr. Hadist dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi.

25. Hadist dari ‘Aisyah RA. Beliau berkata, pada suatu hari, Rasulullah SAW membasuh mani yang menempel pada baju gamisnya kemudian digunakan untuk sholat. Sementara, Sayyidah ‘Aisyah RA melihat bekas basuhan tersebut. (HR. Bukhori dan Muslim).

Dari hadist ini, dapat diambil hukum bahwa mani yang masih membekas pada baju meskipun sudah dibasuh dihukumi suci dan boleh digunakan untuk sholat.

Dijelaskan dengan redaksi yang berbeda dari Imam Muslim,
لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ .

“aku telah menggosok-gosok/mengeriknya (mani yang sudah kering) dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat menggunakannya.”

Dan dalam lafadz yang lain:
لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ -.
“Aku telah menggosok atau mengerik (mani) yang sudah mengering dengan kukuku dari pakaiannya.”

26. Hadist dari Abi Samh RA, Rasulullah SAW bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَامِ
Yang artinya, bekas kencing bayi perempuan harus dicuci dan bekas kencing bayi laki-laki harus diperciki air.
Air kencing bayi perempuan sejak lahir sudah dihukumi sebagai najis mutawasithoh (najid menengah). Berbeda dengan air kencing bayi laki-laki yang mukhofafah (najid yg ringan) hanya disucikan dengan memercikkan air ke daerah najis tersebut. Bayi laki-laki yang dimaksud adalah bayi laki-laki yang usianya dibawah 2 tahun dan belum makan apapun kecuali ASI ibunya. Hadist ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Annasa’i.

27. Hadist dari Asma’ RA binti Abu Bakar RA. Beliau menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang darah haid

وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: – “تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian, “Engkau kikis, engkau gosok dengan air, lalu siramlah, baru kemudian engkau boleh shalat dengan pakaian itu.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Darah haid baik sedikit maupun banyak tetap harus disucikan. Apabila masih terdapat bekas warna tertinggal dari darah haid tersebut, maka hukumnya ma’fu dan boleh digunakan untuk sholat.

28. Hadist dari Imam Abu Hurairah RA. Beliau menjelaskan bahwa Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana jika bekas darah haid tersebut tidak hilang? Rasulullah kemudian menjawab,
“يَكْفِيكِ اَلْمَاءُ, وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ”
Yang artinya, “Engkau cukup membersihkannya dengan air dan bekasnya tidak mengapa bagimu.” Hadist ini dikeluarkam oleh Imam Tirmidzi dan sanadnya dho’if atau lemah.

Wallahu a’lam bisshowab

SebelumnyaKajian Tafsir Jalalain | An-Nisa: 87-89 | DR. KH. Fadlolan Musyaffa', Lc., MA. | 12 September 2021 SesudahnyaAdab Berdo'a

Berita Lainnya

0 Komentar

Lainnya