SEKILAS INFO
  • 2 tahun yang lalu / Penerimaan Peserta Didik Baru
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan
WAKTU :

Penjelasan Bait ke 9 dari Kitab Nur Azh-Zhalam (Syarh Aqidatul Awam) #2

Terbit 23 April 2021 | Oleh : Admin | Kategori : Pasanan
Penjelasan Bait ke 9 dari Kitab Nur Azh-Zhalam (Syarh Aqidatul Awam) #2

Rangkuman Ngaji Pasanan
Kitab Nur Azh-Zhalam (Syarh Aqidatul Awam)
Karya Syaikh Nawawi al-Bantani
Oleh DR. K.H. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA.
23 April 2021/ 11 Ramadan 1442

Diriwayatkan bahwa sesungguhnya ketika Musa ‘alaihi as- salaam datang dari munajat (mendekatkan diri kepada Allah) maka ia menutup kedua telinganya agar tidak mendengar kalam atau perkataan makhluk. Tiba-tiba kalam makhluk berubah menjadi suara yang lebih jelek daripada suara-suara binatang yang liar. Kemudian ia tidak mampu lagi mendengarkan kalam makhluk karena telah merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika mendengar Kalam Allah. Setelah itu, ia pun menjadi mampu mendengar suara rangkaan semut hitam di malam yang gelap dari jarak yang jauh, yaitu 10 farsakh. Wajahnya mengeluarkan cahaya. Tidak ada seorang pun yang melihat cahaya di wajahnya itu kecuali ia akan buta. Kemudian Musa mengusap setiap orang yang melihat wajahnya dan Allah pun mengembalikan penglihatannya lagi. Kemudian Musa mengenakan cadar untuk menutupi wajahnya agar orang-orang yang melihatnya tidak menjadi buta. Cadar itu terus ia pakai di wajah sampai meninggal dunia. Andaikan Allah tidak membuat lupa Musa tentang kenikmatan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata ketika mendengar Kalam Allah niscaya Musa tidak mungkin akan berinteraksi dengan makhluk-makhluk lain selamanya dan orang lain pun tidak akan mengambil manfaat dari Musa.
ما أوسع كرمه وأعظم جلاله Sungguh luas kemuliaan Allah dan sungguh besar keagungan- Nya

Kesimpulan tentang Sifat-sifat Ma’aani Kesimpulannya adalah bahwa sifat-sifat ma’aani yang berjumlah 7 (tujuh) terbagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:

1. Sifat ma’aani yang tidak berhubungan dengan sesuatu apapun. Sifat ini adalah sifat (hidup).

2. Sifat-sifat ma’aani yang berhubungan dengan segala sesuatu yang mungkin (mumkinaat). Sifat-sifat ini adalah sifat Qudroh (kuasa) dan Irodah (berkehendak).

3. Sifat-sifat ma’aani yang berhubungan dengan segala sesuatu yang wujud. Sifat-sifat ini adalah sifat Samak (mendengar) dan Bashor (melihat).

4. Sifat-sifat ma’aani yang berhubungan dengan segala sesuatu yang wajib wujud dan yang boleh wujud dan yang mustahil wujud. Sifat-sifat ini adalah sifat Ilmu (mengetahui) dan Kalam (berfirman).

Ta’alluq atau hubungan dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

1. Ta’alluq Taktsiir atau hubungan mempengaruhi.
Hubungan mempengaruhi adalah hubungan yang ada dalam sifat Qudroh dan Irodah. Sifat Qudroh berhubungan dengan sesuatu yang tidak ada, kemudian sifat Qudroh menjadikannya ada dan sifat Qudroh berhubungan dengan sesuatu yang wujud, kemudian sifat Qudroh menjadikannya tidak ada. Sifat Irodah berhubungan dengan sesuatu yang mungkin. Kemudian sifat Irodah mengkhususkan sesuatu itu dengan apa yang boleh ada pada sesuatu itu, seperti panjang, pendek, dan lain-lain.

2. Ta’alluq Inkisyaf atau hubungan menjadi jelas.
Hubungan menjadi jelas ini adalah hubungan yang ada dalam sifat Samak, Bashor, dan Ilmu. Dengan demikian Allah Ta’aala mendengar Dzat-Nya sendiri dan seluruh sifat-sifat-Nya yang wujudiah, seperti Qudroh, Sama’, dan lain-lain. Sedangkan kita tidak mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari hubungan tersebut. Begitu juga Allah mendengar dzat-dzat dan sifat-sifat kita. Allah Ta’aala juga melihat Dzat-Nya sendiri dan seluruh sifat-sifat-Nya yang wujudiah, seperti Qudroh, Bashor, dan lain-lain. Sedangkan kita tidak mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari hubungan tersebut. Begitu juga Allah melihat dzat-dzat dan sifat-sifat kita. Allah Ta’aala juga mengetahui Dzat-Nya sendiri dan seluruh sifat-sifat-Nya dengan Ilmu-Nya. Dia mengetahui segala sesuatu yang maujud, yaitu segala sesuatu yang mungkin dan segala sesuatu yang tidak wujud, dengan Ilmu-Nya. Allah Ta’aala juga mengetahui segala sesuatu yang mustahil wujud. Artinya Allah mengetahui ketiadaan segala sesuatu itu, bukan mengetahui keberadaannya karena jika Allah mengetahui keberadaan segala sesuatu yang mustahil wujud maka Ilmu berbalik menjadi Jahl (sifat muhal Ilmu). Maha Suci Allah dari sifat Jahl.

3. Ta’alluq Dilalah atau hubungan penunjukan.
Hubungan penunjukkan adalah hubungan yang ada dalam sifat Kalam. Artinya andaikan tabir atau penghalang dihilangkan dari kita dan kita mendengar Kalam Qodim maka kita akan memahami penunjukkan /kandungan maksud dari Kalam Qodim-Nya. Ketahuilah! Sesungguhnya segala sesuatu yang mungkin (mumkinaat) dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu

(1) mungkin wujud setelah tidak ada, seperti langit-langit dan bumi

(2) mungkin tidak ada setelah wujud, seperti sesuatu yang telah habis masa aktifnya

(3) mungkin akan diwujudkan, seperti Kiamat

(4) mungkin tidak akan diwujudkan sesuai Ilmu Allah, seperti kekufuran para nabi.

[FAEDAH] Syekh Syarqowi berkata, “Kesimpulannya adalah bahwa macam-macam tidak ada atau ‘adam ada 4 (empat), yaitu:

1. Ketiadaan para makhluk yang azali. Sifat Qudroh dan Irodah tidak berhubungan dengan ketiadaan azali ini karena ketiadaan azali bukanlah sesuatu yang mungkin tetapi sesuatu yang wajib.

2. Ketiadaan para makhluk yang tidak azali, artinya ketiadaan mereka adalah sebelum wujud kita. Sifat Qudroh dan Irodah berhubungan dengan ketiadaan yang tidak azali ini. Artinya ketiadaan yang tidak azali tersebut berada dalam cakupan Qudroh dan Irodah. Apabila mereka berdua menginginkan maka mereka akan menetapkan ketiadaan yang tidak azali dan apabila mereka berdua menginginkan maka mereka akan menghilangkan ketiadaan yang tidak azali dan menjadikan status wujud padanya.

3. Ketiadaan para makhluk setelah wujudnya. Sifat Qudroh dan Irodah berhubungan dengan ketiadaan jenis ini.

4. Ketiadaan segala sesuatu yang mungkin atau mumkinaat yang Allah ketahui bahwa segala sesuatu mumkinaat itu tidak akan wujud, seperti keimanan Abu Jahal. Sifat Qudroh dan Irodah berhubungan dengan ketiadaan jenis ini dengan melihat sisi dzat ketiadaan jenis ini dan kemustahilan wujudnya yang telah ditetapkan karena ketiadaannya ketiadaan jenis ini adalah hal yang wajib. Mumkinaat ini hanyalah sesuatu yang ‘aridhoh (baru) sedangkan hal yang aridh tidak menafikan kemungkinan yang dinisbatkan pada dzat. Ada yang mengatakan bahwa sifat Qudroh dan Irodah berhubungan dengan ketiadaan jenis ini dengan melihat pada sisi kemustahilan wujudnya. Saya berkata, ‘Perbedaan ini bukanlah perbedaan secara hakikatnya, tetapi secara lafdzi atau perbedaan dari segi lafadz. Dengan demikian pendapat ulama yang mengatakan bahwa Qudroh dan Irodah berhubungan dengan ketiadaan jenis nomer [4] adalah atas dasar bahwa Qudroh dan Irodah berhubungan dengannya dengan bentuk hubungan sholuhi. Sedangkan pendapat ulama yang mengatakan bahwa Qudroh dan Irodah tidak berhubungan dengan ketiadaan jenis nomer [4] adalah atas dasar bahwa Qudroh dan Irodah tidak berhubungan dengannya dengan bentuk hubungan tanjizi.

[CABANG] Para ulama berselisih pendapat tentang menemukan segala sesuatu yang dapat diindera icip, penciuman, dan rabaan. Apakah Allah memiliki menemukan tersebut atau tidak? Syekh al-Qodhi, Imam Haromain, dan para ulama yang sependapat dengan mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah memiliki menemukan yang di luar Ilmu-Nya, yang berhubungan dengan setiap yang maujud, seperti dua sifat Sama’ dan Bashor, dengan artian bahwa menemukannya Allah pada segala sesuatu yang dapat diindera perasa, penciuman, dan rabaan adalah dengan menemukan yang di luar sifat Ilmu. Golongan para imam ulama berpendapat bahwa menemukan tersebut tidak ada karena cukup dengan sifat Ilmu Allah.

Dengan demikian menemukannya Allah pada segala sesuatu yang dapat diindera icip, penciuman, dan rabaan, adalah dengan sifat Ilmu-Nya. Syeh al-Muqtarih, Ibnu at- Talmasani, dan sebagian ulama mutaakhirin berpendapat dengan hasil pendapat yang mauquf atau ditangguhkan dan memasrahkannya kepada Allah karena perbedaan- perbedaan dalil. Dengan demikian mereka tidak menetapkan adanya menemukan dan tidak menetapkan ketiadaan menemukan. Pendapat mauquf ini adalah pendapat yang lebih selamat dan ashoh daripada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya. قوله تعالى لا تدركه الأبصار وهو يدرك الأبصار Adapun Firman Allah, “Dia tidak dapat ditemukan oleh penglihatan mata sedangkan Dia dapat menemukan segala penglihatan itu” (QS. Al-An’am: 103) maka maksudnya adalah Allah meliputi penglihatan- penglihatan itu dari segi mengetahui, mendengar, dan melihat. Selain masalah menemukan yang diperselisihkan para ulama, mereka juga berselisih dalam keadaan atau wujud yang ditemukan. Menurut pendapat yang ashoh adalah mauquf, seperti yang dikatakan oleh Syeh al- Baijuri dan lainnya.

Wallahu A’lam Bishowab

SebelumnyaBudidaya Santri SesudahnyaMengetahui Waktu-Waktu Sholat di Pesawat (Pembahasan Pertama) #2

Berita Lainnya

0 Komentar

Lainnya