Kajian Tafsir Jalalain | An-Nisa: 101-102 | DR. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA. | 24 Oktober 2021
Kajian Tafsir Jalalain | An-Nisa: 101-102 | DR. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA. | 24 Oktober 2021
Pengajian hari ini masih membahas tentang diperbolehkannya menjama’ dan mengqashar shalat bagi orang yang sedang dalam perjalanan. Perjalanan yang dimaksud disini adalah perjalanan yang panjang (jauh). Dalam Kitab Tafsir Jalalain diterangkan bahwa yang dimaksud dengan perjalanan panjang adalah 4 barid, sedangkan yang dimaksud dengan 4 barid adalah 2 marhalah (perjalanan).
Para ulama terdahulu berijtihad bahwa yang dimaksud dengan 2 perjalanan adalah 2 kali perjalanan menggunakan unta yang jika diukur 1 kali perjalanan (selama sehari dengan istirahat shalat dan makan, dengan muatan unta yg normal) maka akan menempuh 40 km. Jadi 2 perjalanan setara dengan 80 km. Sebagai bentuk ihtiyath (kehati-hatian), para ulama banyak berbeda pendapat untuk ukuran 2 perjalanan, ada yang mengatakan jaraknya adalah 80km, ada juga yang 83 km, dan ada pula yang menyebutkan 96 km. Khilaf ulama adalah rahmat dan kita sebagai umat boleh memilih yang mana saja asalkan berpegang pada ijtihad ulama.
Diperbolehkan menjama’ dan mengqashar shalat bagi musafir adalah sebagai bentuk rukhsoh (keringanan) dari Allah SWT untuk umatnya. Menurut Imam Syafi’i, pengambilan rukhsoh ini hukumnya boleh dan jika musafir tetap ingin melakukan shalat secara sempurna juga diperbolehkan.
Ayat selanjutnya menjelaskan tentang tata cara shalat dalam keadaan takut. Dalam ayat ini diterangkan bahwa apabila dalam keadaan perang, sedang dari awal sampai akhir waktu shalat masih terjadi perang, maka diperbolehkan shalat dengan membagi kelompok menjadi dua bagian. Kelompok yang pertama shalat, kelompok yang lainnya menjaga dari serangan musuh dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya shalat sehingga dalam kedaan perangpun masih di wajibkan untuk melakukan shalat.
Penjelasan ini juga sejalan dengan pendapat dari Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Fathul Jawad yang mengatakan tentang diperbolehkannya shalat sambil membawa pedang sekalipun pedang itu berlumuran darah. Hal ini karena jika pedang itu tidak dibawa, maka ditakutkan pedang itu malah akan diambil dan dibawa oleh musuh untuk menyerang. Bahkan disebutkan dalam kitab Tafsir Jalalain bahwa membawa senjata ini hukumnya wajib selama tidak memiliki udzur.
Wallahu a’lam bis shawab..
============
Untuk mendapatkan update informasi seputar pendaftaran santri, program, dan fasilitas yang ada di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan (pesantren bilingual berbasis karakter salaf), mari kunjungi web PPFF dengan cara klik link yang ada di bio. Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan masih membuka kesempatan bagi para pembaca yang mau berikhtiar menjadi ahli surga dengan cara bersama-sama membantu mengembangkan PPFF ✨ .