Penguatan dan Pembinaan Karakter Santri antara Pesantren dan Walisantri dalam Menyikapi Sistem Pendidikan Terkini

Pondok Pesantren Fadhul Fadhlan (Pesantren Bilibgual Berbasis Karakter Salaf) Semarang, telah berdiri sejak 2018 hingga kini mencapai penghujung tahun 2024, sudah 6,5 tahun menjadi pondok pesantren yang terus berkembang, dari segi fasilitas dan gedung, kualitas pendidikan, serta santri yang terus menerus bertambah setiap tahunnya.
Dengan perkembangan sistem pendidikan terkini, pasti ada berbagai perspektif, sikap dan tujuan walisantri dalam memondokkan anak di pesantren. Oleh karena itu, Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang memberikan fasilitas kepada walisantri dan santri agar memilki perspektif, tujuan dan sikap yang sama dalam menghadapi sistem pendidikan yang sering berubah dengan bergantinya pejabat pemetintahan. Sementara sistem pendidikan di Pkndok Pesantren Fadhlul Fadhlan sudah memiliki sustem baku dan juga menjadi rule model yang terkemuka sesuai pengakuan para asesor Badan Akreditadi Nasional saat melakukan akreditasi di pessntren ini.
Dalam acara “Penguatan dan Pembinaan Karakter Santri antara Pesantren dan Walisantri dalam Menyikapi Sistem Pendidikan Terkini” yang digelar pada Sabtu, 8 Desember 2024, DR. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA. menyampaikan beberapa poin penting terkait peran walisantri dalam mendukung anak-anak ketika belajar di pondok pesantren. Diantaranya:
1. Konsep segitiga terhubung antara kiai, santri dan walisantri.
Artinya, Kiai siap mengajar dengan ikhlas, anak siap belajar dengan ikhlas, dan orang tua walisantri juga harus mendukung dengan mengikuti aturan pesantren, mendoakan dari rumah, memberi anak uang saku & nafkah yang halal.
2. Orang tua walisantri tidak mengintervensi kebijakan pesantren. Orang tua sebaiknya tidak mengintervensi apa yang telah menjadi aturan dan kebijakan pesantren. karena seperti pada kesepakatan awal ketika orang tua menitipkan anak di pesantren berarti sudah siap untuk mengikuti aturan, tatatertib, tradisi dan dawuh kiai.
“Ketika orang tua memondokkan anak di pesantren, berarti orang tua juga menjadi santri kiai di pondok tersebut. “Saya juga memondokkan anak saya di pesantren, maka saya juga menjadi santri kiainya anak saya, yang harus mentaati peraturan dan kebijakan kiai pesantrennya anak saya”. Tegas Kiai Fadlolan.
Selain itu, terlalu sering intervensi atau ikut campur karena dapat mengurangi barokah atau bahkan kualat karena meremehkan dawuh kiai. Sekalipun pelanggaran itu tidak tertangkap atau tidak diketahui oleh pengurus pesantren, namun itu telah menghilangkan keberkahan ilmunya santri.
3. Mondok untuk mencari ridlo dan barokah kiai, agar mendapatkan ilmu yang berkah dan manfaat.
Tujuan dari memasukkan anak ke pondok pesantren agar anak dapat ilmu yg berkah dan manfaat, bukan hanya untuk mencari ilmu. Banyak santri yang dapat ilmu, namun ilmunya tidak berkah dan tidak manfaat akibat serin melanggar peraturan dan dawuh kiai, baik dari santri itu sendiri atau orang tua walisantri yang menyuruh anaknya atau membiarkan anaknya melanggar peraturan pesantren.
Bahka ada orang tua yang karena tidak mampu mendidik dan mengasuh anak dirumah lalu membuangnya ke pesantren. Tujuan yang salah inipun menjadikan sikap anak santri merasa dibuang orang tua, bukan merasa di pkndokkan untuk menuntut ilmu secara ihlas, menyerahkan diri pada kiai agar mendapatkan ilmu yang berkah dan manfaat.
Inilah perbedaan sekolah dengan mondok pesantren.
Sekolah, dimana guru mengajari anak agar bisa menjawab soal dan bisa lulus ujian untuk mendapat ijazah.
Sedangkan mondok pesantren, merupakan ujian hidup anak santri agar bisa menghadapi ujian hidup di masyarakat yang lebih rumit, baik dunia maupun akhirat. Maka lulusan pondok pesantren sungguh beda dibanding lulusan sekolah. Santri lulusan pesantren sunghuh siap hidup dimanapun berada dan kapunpun berada dengan survaif dan mandiri.
Pesantren merupakan tempat menimba ilmu untuk bekal dunia akhirat. Mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari Al Quran , Hadits, dan kita-kitab klasik. Lebih utamanya, santri akan belajar adab dan akhlak dengan menjadikan kiai sebagai role model. Selain itu, santri akan mendapat ridlo dan barokah kiai yang nanti akan dirasakannya sepanjang hidup apabila ia mengikuti aturan dan dawuh kiainya, bahasa santrinya sami’na wa atho’na.
Barokah dan manfaat memang tidak dapat dilihat kasat mata secara langsung. Namun bisa dirasakan efeknya dikemudian hari seperti dimudahkan hidupnya dan segala urusannya serta berkah hidupnya, karena selama hidup di pesantren menaati peraturan dan dawuh kiai.
Kemudian Kiai Fadlolan menjelaskan tentang betapa pentingnya manajemen waktu dan prioritas yang diterapkan di pondok pesantren ini, dengan bercerita keseharian santri selama mengikuti kegiatan di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang, tidak ada waktu yang terbuang bahkan hari libur pun diisi dengan kegiatan yang bermanfaat bagi para santri. Termasuk manajemen taqarrub ilallah dimana para santri selalu diajak ibadah dan wiridan, yang dapat mempermudah jalan hidupnya, dan juga dipermudah dalam belajar.
Jadi tugas orang tua adalah mendukung anak agar belajar dan mondok dengan ikhlas serta fokus mengikuti kegiatan dan ibadah. Orangtua juga harus menjauhkan mereka dari hal2 yg dapat membuat anak kembali pada kebiasaan sebelum mondok. Seperti halnya menggunakan hp saat sambangan yang sangat berpengaruh pada perilaku santri. Adanya kebijakan tidak membawa hp merupakan salah satu cara agar anak dapat menjaga diri dari pengaruh dunia luar dan pengaruh buruk bermain game.
Kiai Fadlolan berpesan kepada Orangtua walisantri agar memberikan uang saku dan nafkah yang halal, serta berdoa dan sholat malam untuk tirakat agar anaknya menjadi anak yang sholih-sholihah, alim dan memiliki adab-akhlak yang karimah.
Semoga apa yang dicita-citakan Kiai Fadlolan serta harapan dan doa orangtua kepada putra-putrinya di pesantren diijabah oleh Allah dan kita semua benar-benar menjadi santri yang diakui Kiai Fadlolan dan mendapat ridlo serta barokah dari beliau, sehingga terbuka dari Allah ilmu yang berjah dan manfaat, Allahumma Amin.