SEKILAS INFO
  • 2 tahun yang lalu / Penerimaan Peserta Didik Baru
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan
WAKTU :

Barang Siapa Mengenal Dirinya, Maka Ia Mengenal Tuhannya

Terbit 14 Maret 2024 | Oleh : Admin | Kategori : Pasanan
Barang Siapa Mengenal Dirinya, Maka Ia Mengenal Tuhannya

Rangkuman Ngaji Al-Ajwibah Al-Ghaliyah
Kamis, 14 Maret 2024
Oleh : DR. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA
========================

 

Soal: Apa maksud ungkapan sebagian ulama’ “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya?”

Jawab: Makna kalimat ini adalah bahwa mengenal diri sendiri merupakan sebuah cara atau jalan untuk mengenal Allah SWT. Jika manusia melihat pada kelemahan, kekurangan, dan kebutuhan dirinya, serta memperhatikan bahwa ia tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya dan tidak mampu menolak madharat terhadapnya, niscaya dia akan mengetahui bahwa dirinya memiliki Tuhan dan Pencipta Yang Maha Tunggal yang menciptakannya, memberikan anugrah kepadanya, menilai usahanya, serta membalas perbuatannya. Ia menjadikan semua itu sebagai dasar petunjuk baginya atas kedudukannya sebagai seorang hamba yang mempunyai Tuhan dan bahwa urusannya berada di tangan selain dirinya, yaitu Allah SWT Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Begitu juga ketika seseorang memperhatikan awal mula penciptaannya. Sebelumnya ia berada pada ketiadaan yang tidak memiliki wujud, lalu Allah SWT menjadikannya ada semata-mata sebagai anugrah dan karunia. Dia menciptakannya dari setetes air dan sperma yang mempunyai biji. Kemudian Dia memberinya rupa serta memecah dua pendengaran dan penglihatannya hingga membentuknya dalam sebaik-baik bentuk. Lalu Dia menghiasinya dengan perhiasan-perhiasan yang indah dan kedudukan-kedudukan yang tinggi, baik yang bersifat agama maupun dunia.

Allah SWT berfirman :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِّنْ طِيْنٍۚ، ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍۖ، ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَۗ

Artinya : “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati yang berasal dari tanah. Kemudian, Kami menjadikannya sperma di dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian, sperma itu Kami segumpal darah. Lalu, segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Lalu, segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang berbentuk lain. Maha Suci Allah SWT sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minun ayat 12-14).
___________________________________

Konsistensi bersama Kelompok Umat Islam dan dalam Mengikuti Salafus Sholih

Soal: Apa kewajiban seorang muslim ketika terjadi perbedaan pendapat?

Jawab: Ketahuilah bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan apabila terjadi perbedaan pendapat untuk tetap bersama golongan yang terbanyak, yaitu mayoritas kaum muslimin. Beliau SAW juga mengabarkan bahwa umatnya itu dijaga dari perkumpulan dalam kesesatan atau kesalahan agama. Beliau bersabda, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu atas kesesatan. Jika kalian melihat perselisihan, maka kalian harus tetap bersama golongan yang terbanyak.” (HR. Ibnu Majah 3950).

Al-’Allamah as-Sindi berkata saat menjelaskan makna kalimat السواد الأعظم (golongan terbanyak), “Maknanya yaitu golongan mayoritas, karena kesepakatan mereka lebih dekat pada ijma’.”

Imam Suyuthi berkata, “Artinya kelompok manusia dan mayoritas mereka yang bersatu di atas jalan yang lurus, dan hadits itu menunjukkan sepatutnya mengamalkan pendapat mayoritas.”

Rasulullah SAW juga beesabda, “Sesungguhnya Allah SWT tidak menyatukan umatku di atas kesesatan selama-lamanya. Kekuasaan Allah SWT bersama jama’ah. Maka ikutilah golongan yang terbanyak. Barang siapa yang menyimpang, dia akan menyingkir ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi 2167). Demikian pula beliau bersabda, “Aku meminta kepada Tuhanku semoga umatku tidak bersatu di atas kesesatan. Lalu Dia memberikannya kepadaku.” (HR. Ahmad).

Ulama’ dengan senantiasa memuji Allah SWT mengatakan, golongan Ahlussunnah dari sejak masa pertama sampai hari ini merupakan golongan terbanyak. Maka dengan demikian benarlah bahwa mereka adalah golongan yang selamat yang tetapberpegang teguh pada Al-Qur’an, Sunnah, dan apa yang dipegang teguh oleh para pendahulu umat dari golongan sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid yang terkemuka. Isyarat Rasulullah SAW akan hal itu terdapat dalam sabdanya, “Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah SAW?’ Beliau menjawab, ‘Yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.”
______________________________

Soal: Apa kewajiban seseorang yang tidak mencapai tingkat ijtihad?

Jawab: Setiap mukmin yang mengikuti syariat Muhammad SAW wajib meyakini apa yang dibawa oleh makna dhahir Al-Qur’an dan Sunnah, dan bersandar dalam hal tersebut kepada ucapan para ulama’ besar yang terkenal di kalangan khusus dan awam, seperti Imam yang Empat: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, serta para imam lainnya. Barang siapa yang taklid kepada salah seorang dari mereka dalam beramal dengan apa yang mereka fahami dari Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW, maka ia selamat di sisi Allah SWT dalam taklidnya tersebut. Sebab, Allah SWT telah mengizinkan para mujtahid untuk berijtihad dan orang-orang yang taklid untuk mengikuti pendapat para ulama.

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

Artinya : “Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl ayat 43).

Maka merupakan sebuah kewajiban (fardlu ‘ain) bagi orang yang bukan ahli ijtihad untuk taklid kepada salah seorang dari imam-imam mujtahid. Itulah jalan kaum mukminin yang sesungguhnya. Hendaknya ia meninggalkan klaim ijtihad atau mengambil hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah tanpa perlu taklid kepada para imam itu, karena sejak dari masa para sahabat dan tabi’in, hukum-hukum dan kaedah-kaedah Islam telah bersifat tetap dan telah digali dari Al-Qur’an dan Sunnah serta dicatat di dalam kitab-kitab ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Tidak ada lagi yang tersisa bagi orang-orang sesudah mereka kecuali kembali kepada hukum-hukum tersebut dan taklid kepada para ulama terkemuka itu yang mana mereka dikenal lantaran ilmu mereka, baik di kalangan khusus maupun awam.

والله أعلم بالصواب

SebelumnyaMasa Tumbuh Kembang Nabi Muhammad SAW SesudahnyaBab Istinja'

Berita Lainnya

0 Komentar

Lainnya