Mauidhotul Mu’minin: Tingkatan Halal dan Haram
بسم الله الرحمن الرحيم
Tingkatan Halal dan Haram
Mengukur suatu perkara dapat dikatakan halal dan haram tidak dengan menggunakan ukuran pikiran manusia, melainkan dilihat dari kacamata hukum syara’.
Segala perkara yang haram itu (خبيث) yang berarti buruk, jelek, atau keji. Selaras dalam penggalan ayat Alquran, QS. Al- Maidah ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجس مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ …….الاية
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan…..”
tetapi sebagian خبيث ada yang lebih buruk, lebih jelek, dan lebih keji dari yang lainnya.
Demikian halnya, segala sesuatu yang halal itu baik dan bagus, tetapi sebagiannya ada yang lebih baik dan bagus, lebih bersih, lebih suci dan lebih murni dari yang lainnya.
Perkara halal dan haram yang sulit dibedakan, ujung sisi yang satu adalah hal yang halal, dan ujung yang lain adalah yang haram, sedangkan di antara keduanya adalah hal yang syubhat ( belum ada kejelasan halal atau haram suatu perkara).
Ada nya tingkatan dalam halal dan haram, maka dari itu terdapat pula beberapa tingkatan wira’i bagi seseorang dalam menjaga diri dari perkara yang Haram, yaitu:
1. Wirai’nya seseorang yang sangat menjaga kesucian diri dari melakukan keharaman sesuai dengan apa yang telah digariskan atau jelas keharamannya.
2. Tingkat wara’, orang yang menjaga dan meninmbang kesucian diri dari segala yang menjurus ke haram walaupun fatwa yang dikeluarkan ulama memberbolehkan. Karena menurut dzohir barang tersebut ada kemungkinannya mengandung syubhat. Contohnya: seseorang mendapati buah yang jatuh dari pohon orng lain di tepi jalan, yang jelas bukan miliknya, namun dipikirnya daripada mubadzir jika dibiarkan maka diambilnya. Maka haram hukumnya karena ada unsur syubhat yang berkemungkinan juga buah tersebut jatuh dari pengendara yang lewat di jalan tersebut , dan buah tersebut dihukumi luqothoh (barang temuan).
Terdapat kisah ibnu Sirin yang meninggalkn uang 400 dirham karena terdapat keraguan yang menjanggal di hati, dan ketika diberi 100 dirham diterimanya hanya 99 dan 1 dirham sisa diikhlaskan, namun jika Beliau memberikan harta maka akan ditambah jumlahnya.
3.Tingkatan wara’, orang yang menghindari barang yang dihukumi tidak haram, dan juga tidak syubhat tentang kehalalanya. Namun dia takut melakukannya karena khawatir jangan-jangan dia melakukan perkara yang haram.
Laiknya beberapa kisah menarik dari para Sahabat, seperti:
Khalifah Amr bin Abdul Aziz ketika menjual minyak misk ditutup hidungnya agara tidak berlebihan mencium bau wanginya, lalu seseorang bertanya kenapa Beliau menutup hidungnya, lalu dijawab oleh Ibnu Sirin “Bukankan manfaat yang kau ambil dari minyak ini adalah bau wanginya (?)”
Sahabat Hasas Basri hendak ingin mengambil kurma dari kurma sedekah kemudia Rasulullah menegur untuk meletakkan kembali dengan berkata (كخ كخ) “jatuhkanlah”
Dan cerita masyhur dari Khalifah Abu Bakar yang meminum susu yang diperoleh budaknya dari hasil upah meramal atau menebak.
4.Tingkat wara’ orang yang menjaga diri dari sesuatu yang tidak berbahaya tetapi dalam mendapatkan itu bukan atas dasar taqwa atau khawatir yang menjurus kepada hal-hal yang mudah menimbulkan kemakruhan (maksiat).
والله أعلم باالصواب