Kaifiyah Sholat di Kapal & Pesawat
Ngaos Assholah fil Hawaa karangan DR. K.H Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA.
Selasa, 27 April 2021
PEMBAHASAN PERTAMA: Pendapat Ulama tentang Hukumnya Sholat di Pesawat
Pada zaman dahulu, permasalahan terkait sholat diatas kendaraan seperti pesawat belum ada, karena belum ada pesawat. Permasalahan ini masuk kedalam masalah kontemporer atau permasalahan zaman sekarang. Para ulama memperbolehkan untuk melaksanakan sholat diatas pesawat. Apalagi jika dikhawatirkan akan habisnya waktu sholat sebelum landing.
Praktek sholat di dalam pesawat dan sejenisnya
Jika menemukan tempat yang memungkinkan untuk melaksanakan sholat dengan tata cara yang normal, maka silakan melaknsanakannya dengan sempurna memenuhi syarat dan rukun shalat. Jika tidak, maka boleh menunaikannya dengan berdiri didepan kursi tempat duduknya mulai takbir menhadap qiblat, lalu meneruskan shalat sambil duduk. Rukuk dan sujud dilaksanakan dengan cara membungkukkan badan dengan catatan ketika sujud lebih membungkuk daripada rukuk. Tidal boleh mengakhirkan waktu sholat kecuali memang berniat untuk menjama’ ta’khir.
PEMBAHASAN KEDUA: Berdiri Saat di Kapal dan Pesawat
Pelaksanaan sholat di dalam pesawat diqiyaskan kepada pelaksanaan sholat diatas kapal. Karena pada zaman dahulu, ketika permasalahan ini diijtihadkan, belum terdapat pesawat. Lalu, diqiyaskan pada kapal yang berlayar. Dengan keadaan kapal dan pesawat yang geraknya tidak selalu stabil, sehingga dikhawatirkan jika melaksanakan sholat dengan berdiri mengakibatkan jatuh, maka lahirlah pertanyaan haruskah sholat dalam keadaan tersebut dilaksanakan dengan berdiri? Dalam menanggapi permasalahan ini, ulama memiliki pendapat yang berbeda:
Pendapat Pertama:
Jumhur ulama dari madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, dan 2 orang ulama’ Hanafiyah mengatakan bahwa sholat haruslah dilaksanakan dengan sempurna semampunya. Didasarkan pada sabda Nabi,
” Sholatlah dengan berdiri, kalau tidak mampu, tunaikan dengan duduk. Kalau masih tidak mampu, tunaikan dengan berbaring miring kekanan. .” (HR. Bukhori)
Kemudian dalam riwayat lain, Nabi pernah mengutus Ja’far bin Abu Tholib RA ke Habsyah, rasulullah memerintahkannya untuk melaksanakan sholat diatas perahu dengan berdiri, kecuali jika takut tenggelam. Beliau bbersabdaseperti itu karena berdiri menjadi salah satu rukun dalam sholat. Kecuali bagi yang mempunyai udzur syar’i.
Pendapat Kedua:
Pendapat kedua ini menjelaskan bahwa sholat dengan duduk saja sudah dianggap sah, meskipun seorang mukallaf tersebut mampu melakukannya dengan berdiri. Demikian pendapat jumhur ulama madzhab Hanafi selain 2 ulama, yakni Abu Yusuf dan Muhammad.
Terdapat banyak penjelasan di pendapat yang kedua ini. Inti pokok dari pendapat kedua ini ialah:
1. Jika memungkinkan, maka sholat seperti biasa (sholat jama’ah, menghadap kiblat, berdiri, rukuk dan sujud seperti biasanya).
2. Jika tidak mampu melaksanakan sholat dengan berdiri, maka sholatlah dengan duduk. Rukuk dan sujudnya dengan membungkukkan punggung, dan saat sujud lebih membungkuk.
3. Apabila tidak bisa menghadap arah kiblat, maka cukup mengikuti arah pesawat.
4. Apabila tidak mendapatkan air untuk bersuci, maka dapat bertayammum.
Taqlid artinya mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui dasarnya. Menurut madzhab Syafi’i,
Terdapat 3 tingkatan taqlid
1. Taqlid tingkat awal (taqlidnya orang awam)
Yakni taqlidnya mayit kepada orang yang memandikannya. Seperti kita orang awam yang mengikuti madzhab Syafi’i.
2. Taqlid tingkat kedua (taqlidnya mujtahid)
Yakni taqlidnya orang yang mampu melakukan ijtihad. Namun, dia harus iijtihadsendiri tanpa mengikuti ijtihat mujtahid yang lain.
Wallahu a’lam bisshowab