SEKILAS INFO
  • 2 tahun yang lalu / Penerimaan Peserta Didik Baru
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan
WAKTU :

Penjelasan Bait ke-3 & 4 dari Kitab Nur Azh-Zhalam (Syarh Aqidatul Awam) #4

Terbit 20 April 2021 | Oleh : Admin | Kategori : Pasanan
Penjelasan Bait ke-3 & 4 dari Kitab Nur Azh-Zhalam (Syarh Aqidatul Awam) #4

Rangkuman Ngaji Pasanan
Kitab Nur Azh-Zhalam (Syarh Aqidatul Awam)
Karya Syaikh Nawawi al-Bantani
Oleh DR. K.H. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA.
20 April 2021/ 8 Ramadhan 1442

4. Bid’ah Makruh.
Pengertiannya adalah setiap bid’ah yang dikenai oleh dalil-dalil kemakruhan dari syariat dan kaidah-kaidahnya, seperti mengkhususkan melakukan ibadah di hari-hari yang utama dibanding dengan hari-hari lain. Sebagian ulama menambahkan bahwa termasuk bid’ah makruh adalah menghiyas masjid yang berlebihan dan berlebihan menghiasi ornamen mushaf-mushaf. Intinya adalah sesuatu yang berlebihan atau mubadzir.

5. Bid’ah Mubah.
Pengertiannya adalah setiap bid’ah yang dikenai oleh dalil-dalil mubah atau diperbolehkan dan kaidah- kaidahnya dari syariat, seperti membuat ayakan-ayakan gandum. Dalam beberapa atsar atau hadis- hadis dari para sahabat disebutkan bahwa sesuatu yang pertama kali diciptakan sebagai hal yang baru sepeninggal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah membuat ayakan- ayakan karena memperbaiki kehidupan ekonomi adalah termasuk hal-hal yang diperbolehkan sehingga perantara-perantara untuk memperbaiki ekonomi pun dihukumi boleh.

Demikian ini disebutkan oleh Ibrahim al- Laqooni. Syekh Ibnu Hajar mengatakan bahwa termasuk bid’ah mubah adalah berusaha mendapati kenikmatan makanan dan minuman, dan memperlebar kerah, yaitu bagian ujung dari lengan gamis. Terkadang para ulama berselisih pendapat mengenai perihal memperlebar kerah gamis. Sebagian dari mereka menjadikannya sebagai termasuk bi’dah makruh dan sebagian lainnya menjadikannya sebagai hal yang termasuk bid’ah sunnah.

Termasuk bid’ah mubah adalah mushofahah atau berjabatan tangan setelah sholat Ashar dan Subuh, sesuai dengan keterangan yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Abdissalam, maksudnya adalah ketika seseorang berjabat tangan dengan orang yang bersamanya sebelumnya. Adapun berjabat tangan dengan orang yang tidak bersamanya saat sebelum itu maka hukum nya adalah disunahkan karena berjabat tangan ketika saling bertemu adalah kesunahan menurut ijma’ dan karena ia mengkhususkan berjabat tangan di sebagian kecil keadaannya dan tidak melakukannya di sebagian besar keadaannya maka sebagian kecil keadaannya itu tidak dapat mengeluarkan kegiatan berjabat tangan dari hal yang termasuk disyariatkan

وَبـَعْدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَةْ# مِنْ وَاجِبٍ لِلَّهِ عِشْرِيْنَ صِفَهْ
Setelah [menyebutkan Basmalah, Hamdalah, Sholawat, dan Salam] mushanif lalu berkata: ketahuilah dengan keyakinan mengatahui bahwa Allah memiliki 20 sifat-sifat wajib bagi-Nya. Maksudnya, setelah saya menyebutkan Basmalah, Hamdalah, Sholawat, dan Salam maka saya berkata kepadamu, “Ketahuilah!” maksudnya ketahuilah! dan yakinilah! Wahai setiap mukallaf! 20 sifat yang wajib bagi Allah secara rinci (tafsil) karena mengetahuinya adalah hal yang wajib bagi setiap mukallaf. Jauhilah mengambil sikap taqlid (ikut-ikutan) karena apabila kamu bertaqlid maka keimananmu masih diperselisihkan tentang keabsahan dan ketidak- absahannya.
Perkataan Syekh Ahmad Marzuki “اعلم “adalah berarti “اعرف “yang berarti ketahuilah!, seperti Firman Allah,
“لا تعلمونهم الله يعلمهم”
yang berarti “
” لاتعرفونهم الله يعرفهم ”
Oleh karena itu Syekh Ahmad Marzuki mengikutkan perkataannya “اعلم “
dengan pernyataan
“بوجوب المعرفة”
Dengan demikian kata “اعلم “hanya muta’adi pada satu maf’ul. Syekh Fayumi berkata dalam kitab al- Misbah bahwa ketika kata “علم “berarti “الیقین “maka ia muta’adi pada dua maf’ul. Sedangkan ketika “علم “berarti “عرف “maka ia muta’adi pada satu maf’ul.
Adapun Syekh Ahmad Marzuki mengibaratkan pernyataan dengan kata “Ketahuilah!” karena bertujuan mengingatkan para pendengar tentang ucapan yang seharusnya dihafal yang disampaikan kepadanya karena ucapan itu merupakan asal atau sumber dari seluruh kebaikan, dan karena bertujuan memberikan isyarat bahwa pekerjaan mencari ilmu adalah pekerjaan yang paling utama. Ia tidak mengibaratkan pernyataan dengan kata “Pahamilah!” karena perintah memahami akan melibatkan pembahasan sebelumnya sedangkan disini tidak ada pembahasan yang sebelumnya telah dijelaskan. Ia juga tidak mengibaratkan pernyataannya dengan kata “Temukanlah!” karena perintah menemukan akan melatar belakangi menghasilkan ilmu secara lamban karena yang namanya menemukan akan dihasilkan setelah berfikir dalam. Ia juga tidak mengibaratkan pernyataannya dengan kata “Bacalah!” karena perintah membaca akan melatar belakangi perintah menghasilkan kata-katanya saja [sedangkan kandungan maknanya tidak]. Ia juga tidak mengibaratkan pernyataannya dengan “Hafalkanlah!” karena yang namanya menghafal adalah menjaga sesuatu agar tidak hilang meskipun hanya kata-katanya saja. Ia juga tidak mengibaratkan pernyataannya dengan “Dengarkanlah” karena perintah mendengarkan akan melatar belakangi perintah menghasilkan kata padahal disini tujuannya adalah menghasilkan kandungan arti-arti atas dasar kemantapan yang cepat. Perkataan Syekh Ahmad Marzuki
“بوجوب المعرفة”
Adalah berhubungan dengan kata “اعلم .“Oleh karena itu, huruf baa berarti mulabasah atau menempati, maksudnya menempati kewajiban mengetahui. adalah
” من واجب”
Perkataannya menjelaskan kata “عشرین” yang menjadi maf’ul bih dari kata “اعلم.“ Perkataannya “صفة” adalah tamyiz bagi maksud yang terkandung dalam kata “عشرون .“Ia dibaca i’rob nashob yang dipengaruhi oleh amil berupa kata “عشرین ,“seperti yang dikatakan oleh Syeh as-Syarbini.

Bahwa wajib bagi setiap mukallaf menurut syariat (Islam, baligh, dan berakal) mengetahui 20 sifat secara rinci disertai keyakinan bahwa Allah memiliki sifat-sifat wajib dan kesempurnaan yang tidak ada batas. Hakikat “mengetahui” adalah kemantapan yang sesuai dengan kenyataan atau kebenaran yang berlandaskan dari sebuah dalil (bukti). Adapun pengertian taqlid atau “ikut – ikutan” adalah meyakini kandungan ucapan orang lain, perbuatannya, dan ketetapannya tanpa mengetahui dalil. Pengecualian dalam pengertian taqlid ini adalah mereka para murid yang dibimbing atau ditunjukkan oleh para syekh (thoriqoh) pada dalil-dalil. Maka mereka disebut dengan orang- orang yang mengetahui, bukan orang- orang yang taqlid.

Orang yang melakukan taqlid dalam urusan akidah-akidah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai hukumnya menjadi 6 pendapat, yaitu :

1. Merasa cukup dengan taqlid dan ia berdosa apabila ia memiliki kemampuan berfikir atau berangan-angan [mencari dalil]. Jika ia tidak memilikinya maka ia tidak berdosa. Ini adalah pendapat yang dipedomani oleh para ulama.
ان رمت علم لاصل كن مجتهدا * ولاتقلد فالخلاف قد بدا
و القولة الصحيحة الشهيرة * عصيانه ان كان ذا بصيرة
Syeh Iwadh al-Ghomrowi berkata: Apabila kamu mencari ilmu ushul maka jadilah seorang mujtahid! Janganlah kamu bertaqlid karena perselisihan tentang hukum taqlid telah jelas. Pendapat yang shohih yang masyhur adalah orang yang bertaqlid adalah berdosa apabila ia memiliki kemampuan untuk berfikir mencari dalil.
Perkataan Syeh Iwadh
“ان رمت”
berarti “طلبت “yang berarti apabila kamu mencari. Oleh karena itu ia masuk dalam bab tasrif “قال.“ berarti” ذا بصیرة” Perkataannya yang memiliki ilmu. Kata “بصیرة “memiliki bentuk jamak “بصائر.“ Berbeda dengan kata “البصر “yang berarti penglihatan maka ia dijamakkan menjadi “الأبصار.“

2. Merasa cukup dengan taqlid. Orang yang bertaqlid dianggap kafir. Pendapat ini dipedomani oleh Syekh As-Sanusi. Syekh Abdurrahman Al-Munili berkata, “Pendapat ini berdasarkan pada larangan bertaqlid dan berdasarkan pada pernyataan bahwa mengetahui adalah syarat keabsahan iman.” Yang benar adalah kebalikan dari pendapat ini, yaitu orang yang merasa cukup dengan bertaqlid tidak dianggap kafir.

3. Merasa cukup dengan bertaqlid dan ia berdosa secara mutlak, baik ia memiliki kemampuan mencari dalil atau tidak. Syekh Abdurrahman Al-Munili berkata, “Pendapat ini tertolak atau terbantah.” Ia melanjutkan, “Benang merah dalam perselisihan perihal taqlid adalah tentang orang yang bertaqlid yang mana ia memiliki ketenangan atau kemantapan hati sekiranya apabila orang yang ia taqlidi menarik pernyataannya maka orang yang bertaqlid tidak akan menarik ketetapannya. Jika orang yang bertaqlid menarik pernyataannya maka ia dianggap kafir secara pasti.

4. Orang yang bertaqlid pada Al- Quran dan Sunnah yang merupakan dalil pasti (qath’i) maka keimanannya adalah sah karena ia bertaqlid pada pedoman yang pasti benar. Sedangkan orang yang bertaqlid pada selain keduanya maka keimanannya tidak sah karena ia tidak bisa selamat dari kesalahan jika ia tidak ma’shum atau terjaga.

5. Merasa cukup dengan bertaqlid dan ia tidak berdosa sama sekali karena berfikir atau mencari dalil adalah syarat penyempurna keimanan. Oleh karena itu orang yang memiliki kemampuan berfikir mencari dalil tetapi ia tidak berfikir mencarinya maka ia hanya sebatas meninggalkan perihal yang lebih utama. Demikian ini difaedahkan oleh Syekh Al-Bajuri. Syekh Abdurrahman al-Munili berkata, “Berdasarkan pendapat ini maka berfikir mencari dalil agar bisa sampai tingkat mengetahui adalah hal yang disunahkan.”

6. Iman orang yang bertaqlid adalah sah dan ia diharamkan untuk berfikir mencari dalil. Pendapat ini dimaksudkan pada masalah apabila pola pikir mencari dalilnya telah tercampur dengan pola pikir filsafat.
Wallahu A’lam Bisowab

SebelumnyaHilangnya Perbudakan di Masa Kini, Kekosongannya Jihad dan Udzurnya Hukum Had Islam SesudahnyaFinishing Pembangunan MTs Al Musyaffa' Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan

Berita Lainnya

0 Komentar

Lainnya